Minggu, 10 April 2011

YANG HILANG DAN KEMBALI (3)

“Bu Tari, Bu Tari, Wulan, Bu!” seorang wanita paruh baya datang dengan tergesa. Peluh yang deras menentes menunjukkan kegelisahan yang sangat.
“Kenapa dengan Wulan, Bu Raida? Apa dia nakal lagi di sekolah?”
Bu Raida menggelengkan kepala. Ia salah seorang guru taman kanak-kanak yang mengajar Wulan.
“Lalu?” Lestari mendadak pucat. Ada rasa khawatir yang mendadak muncul. Adakah hal buruk yang terjadi terhadap Wulan?
“Wulan mendadak pingsan di sekolah. Sekarang ia sudah dibawa ke puskesmas di desa sebelah.”
Lestari limbung. Kepalanya seakan mendapat hujan ribuan jarum dari langit. Gelegar petir yang menyambar menambah sakit dalam sengatan pikirannya. Awan hitam menggelayut. Pandangan matanya mulai mengabur oleh rintik-rintik air yang deras menetes.
“Ayo kita ke sana, Bu.” Lestari menarik tangan Bu Raida.
Bu Raida mengangguk. Ia juga pernah merasakan rasa kehilangan. Putranya delapan bulan yang lalu sakit keras yang membuat ia harus meneteskan air mata kehilangan.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” kata Lestari sesampainya di sebuah puskesmas kecil di desa sebelah.
Kondisi bangunan itu terlihat kurang terawat. Pintu depan puskesmas itu nampak usang. Rayap-rayap sudah memakan bagian bawah kotak kayu itu. Taman di depan puskesmas tak terawat, tanpa sebuah tanaman indah yang menghias. Begitu juga di dalam ruangan. Tak ada barang yang bisa dikatakan berharga lagi.
Lestari mengelus dada. Beginikah kondisi pelayanan kesehatan di daerahku? Pantas orang-orang jarang pergi ke puskesmas. Mereka lebih memilih untuk pergi ke Pak Mantri di desanya.
Seorang dokter muda memainkan kacamatanya. Nampak bahwa ia masih hijau akan pengalaman. Keringat dingin menetes dari keningnya.
“Anak Ibu, kena Hepatitis B.”
“Hepatitis B!” Mata Lestari membelalak. “Apa ia bisa disembuhkan, Dok?”
“Bisa, tapi tidak di tempat ini. Peralatan di puskesmas kurang memadai. Ibu harus membawanya ke rumah sakit di kota,” papar dokter itu.
Di kota? Kenapa desa seolah merupakan tempat terpencil yang terabaikan? Kadang Lestari merasa kesal dengan kondisi ini. Desa seakan menjadi daerah marginal yang kehilangan perhatian. Ahh, di manakah janji-janji parai politisi itu saat kampanye dulu?
“Terima kasih, Dok,” ucap Lestari singkat sembari memberikan beberapa lembar uang puluh ribuan kepada dokter itu.
“Terima kasih,” kata dokter itu tanpa ada tindak lanjut setelahnya. Ia tersenyum lebar.
“Ayah, Ayah…,” dalam pelukan Lestari, Wulan mengigau pelan. Suara yang bersumber dari keletihan hati gadis kecil itu.
Aku harus mencarinya! Tekad itu tepancang bulat dalam hati Lestari.
♣♣♣
Suasana kota siang ini begitu menyengat. Udara-udara kotor kota semakin menambah keresahan hati seorang wanita muda yang berjalan tertatih. Sudah hampir dua hari ini Lestari menyusuri kota. Daerah kumuh hingga pertokoan yang menjulang tinggi sudah ia kunjungi. Hasilnya nihil.
Di mana kau, Rahmat Suseno? Hati Lestari gerimis.
Senja menjelang. Lestari merasa sangat lelah. Bukan hanya kelelahan fisik yang ia rasakan, hatinya juga lelah mencari ketidakpastian dan kerinduan yang diimpikannya.
Lestari menyandarkan diri pada bangku halte bus di dekat traffic light.
Malam merayap. Sudah genap dua hari ia pergi meninggalkan Wulan. Entah kebohongan apa yang akan ia sampaikan lagi pada gadis kecilnya itu sesampainya di desa.
Tapi…
Sebentar!
Lestari melihat sosok yang dikenalnya melenggok di perempatan jalan. Tapi Lestari merasa ada yang berbeda dengan sosok itu.
Benarkah itu dia? Lestari menerka. Ia berjalan mendekati sosok yang sedang bergerombol bersama teman-teman sejenisnya itu.
“Mas Seno? Benarkah itu kau, Mas?”
Seorang pria dengan berbagai riasan di wajah membalikkan badan. Mukanya pias. Tatapan Lestari menelanjangi dirinya. Seno menunduk malu.
“Ada apa denganmu, Mas? Jadi selama ini…” Suara Lestari terdengar serak. Ia berlari sekencang-kencangnya. Ia tak bisa menerima kenyataan yang baru saja dilihatnya.
Seno mengejar wanita itu. “Tari tunggu!”
“Sani, sani, mau kemana kamu.” Lestari mendengar nama seseorang disebut. Jadi namamu di kota Sani, Mas?! jerit Lestari dalam hati.
Seno hampir saja berhasil mengejar Lestari. Bis malam yang melintas membuat perjuangannya berakhir.
“Tari, tunggu!” Lestari sempat mendengar sayup teriakan parau itu. Namun, telinga Lestari telah tertutup oleh rasa sakit yang mendera batinnya.
Bis malam yang ditumpanginya berhenti di sebuah lampu merah. Perempatan jalan itu nampak lenggang. Namun sebuah lukisan pemandangan membuat hati Lestari menjerit.
Beberapa pria berpakaian mini dengan wajah penuh riasan melenggok pelan, menggoda setiap pengendara yang melintas.
Entah di perempatan mana kau melenggokkan badanmu, Mas, jeritan Lestari membuat siapa saja yang mendengarnya terenyuh.
Bayangan sejuta tanya anaknya sudah ia rasakan. Tanya dengan sebuah tawa mengembang yang akan menyambutnya. “Mana Ayah, Bu?” Pertanyaan itu membuat hatinya semakin sakit.
Lampu hijau menyala. Bis malam kembali melaju, meninggalkan lenggokan manja yang menggoda.
Lestari membiarkan pipinya basah. membiarkan harapan itu hilang dan kembali.
♣♣♣

Tidak ada komentar:

Posting Komentar