Minggu, 10 April 2011

YANG HILANG DAN KEMBALI (2)

“Lestari, maukah kau menikah denganku?”
Lestari terkejut. Mukanya yang putih bersih memerah seperti warna langit biru yang terhias lukisan pelangi, sangat indah.
“Kenapa kau diam, Tari? Apa kau tak suka, aku mengatakan hal ini padamu?”
“Bukannya begitu, aku sangat suka akhirnya kau mengatakan hal itu padaku.”
“Lalu?” Seno memandang lekat wanita di hadapannya. Ia menanti bibir wanita itu bergetar menjawab tanda tanya besar yang mematung dalam pikirannya kini.
“Bagaimana dengan orang tua kita? Apa mereka setuju? Bukankah mereka pernah mengatakan bahwa kau harus bekerja dulu sebelum kita menikah?”
“Oh, jadi itu masalahmu.” Seno tersenyum. “Jangan khawatir aku bisa mengusahakannya kelak ketika kita sudah berkeluarga.”
“Mengusahakannya?” Lestari tak mengerti, kata-kata itu seperti sebuah apologi yang sering ia dengar dari kebanyakan kisah sejenis yang dialaminya. Sebuah ketidakpastian yang mampu menjerumuskan dirinya dan diri pria itu.
“Ya, kebetulan beberapa hari yang lalu aku dihubungi pamanku yang ada di kota. Katanya ada lowongan kerja yang cocok untukku,” ujar Seno berapi-api.
“Lowongan kerja apa? Bukankah SMK saja kau tak tamat?” hati Lestari masih menggetarkan nada keraguan. Ada semacam rasa tidak percaya yang kuat dalam dadanya. Namun ia juga merasakan getar kesungguhan dari ucapan Seno. Dua perasaan itu bertarung kuat dalam hatinya.
“Aku memang tak tahu pekerjaan apa yang akan aku dapatkan di kota kelak. Tapi aku yakin bahwa pekerjaan itu mampu memberikan nafkah yang cukup bagi kita.” Seno menggenggam erat tangan Lestari. “Yakinlah padaku, Tari,” bisik Seno.
Lestari mengangguk pelan.
“Aku percaya padamu, Mas.”
Mereka berdua tersenyum, sebuah kebahagiaan yang mereka nantikan akhirnya tiba. Udara senja memberikan kehangatan dalam hati mereka. Mentari turun perlahan, turut memberikan ucapan bahagia untuk sepasang sejoli yang tersenyum padanya. Tersenyum pada suasana yang akan berganti, menjadi suasana syahdu penuh rasa syukur.
♣♣♣
“Saya terima nikahnya Lestari Dwi Astuti binti Muhammad Asep Syaefudin dengan mas kawin seperangkat alat shalat tunai,” Seno mengucapkan kata-kata itu dengan lantang.
Suara syukur, penuh puji-pujian bergemuruh.
Lestari dan Seno saling berpandangan. Mata mereka beradu. Sesaat muka mereka berdua memerah diiringi dengan senyum malu keduanya. Orang-orang yang berada disekitar mereka turut tersenyum, menyambut kebahagiaan mereka.
“Aku akan selalu menjagamu, Lestari,” bisik Seno di sela-sela kebahagiaan mereka. Lestari tersipu.
“Aku juga akan setia padamu, Mas” ujar Lestari pelan.
Gemuruh rasa itu membuncah kembali pada dada Lestari. Tangisannya pecah. Kamar berukuran 4×6 nya terasa lebih sempit baginya. Sesempit hatinya yang kehilangan hal yang disayanginya.
Ia merindukan rasa yang dulu. Rasa ketika pertama kali kata cinta pria itu ucapkan padanya. Rahmat Suseno.
Dimana kau, Suamiku? Tidakkah kau merindukanku? Benarkah rasa sayang dan cintamu sudah habis untukku? Benarkah di kota sana kau bertemu dengan wanita yang jauh lebih cantik dariku?
Air mata Lestari terus menganak. Hatinya pun terbelah menjadi beberapa bagian. Satu rasa kesedihan, satu rasa keletihan, satu lagi rasa kerinduan. Entah rasa mana yang paling ia rasakan kali ini. Semua rasa itu bercampur menjadi satu.
“Ibu menangis lagi?” Wulan melongok dari balik pintu.
Lestari cepat mengusap matanya. Kesedihan ini tak pantas menjadi bagian anak manis yang masih termangu di balik pintu. Ia masih terlalu lugu untuk mengenal rasa sakit dan pedih.
“Tidak, Nak. Ibu tidak menangis, Ibu hanya mengkhawatirkan kamu, Wulan,” suara itu terdengar parau. Ia masih tidak bisa menyembunyikan kesediahannya. Ia mencoba untuk menahan rasa sakit yang masih lekat ia rasakan.
“Ibu mengkhawatirkan Wulan?” Mata bocah itu berseri juga penuh tanya. “Apa yang ibu khawatirkan?” lanjut bocah itu. Badan kecilnya menggelayut manja di pangkuan Lestari.
“Ibu mengkhawatirkan kebahagiaan Wulan,” ucap Lestari. Tangannya menyapu lembut rambut bocah kecil berumur enam tahun itu.
“Kebahagiaan? Apa itu kebahagiaan, Ibu?” Bocah itu menatap Lestari dengan mata berseri. Dekapannya semakin kuat, seolah tak mau kehilangan sesuatu yang diinginkannya.
“Kebahagiaan itu sesuatu yang indah. Jika Wulan bahagia berarti Wulan sudah mendapatkan apa yang Wulan inginkan. Wulan punya mimpi dan keinginan kan?” tanya Lestari pelan. Bocah itu mengangguk mantap.
“Mimpi Wulan adalah bisa bertemu dengan Ayah.” Mata bocah itu berbinar terang. Kesungguhan dan kebulatan tekad terpancar di sana. Lestari tak tahan melihatnya.
“Kapan Ayah pulang, Bu?”
Wulan merenggangkan dekapannya. Ia mencari jawaban pasti dari mulut ibunya.
“Sabar ya, Nak. Tahun baru ini semoga Ayah bisa pulang.”
“Benarkah itu, Bu?” Wulan tersenyum lebar. “Wulan ingin kalau Ayah pulang membawa oleh-oleh yang banyak buat Wulan. Ada boneka, rumah-rumahan, sampe makanan yang banyak, boleh kan, Bu?”
Lestari tersenyum kecut, tak tega rasanya membuat bayangan indah bocah itu mengabur. Ia hanya mengangguk lalu mengecup kening halus Wulan.
Wulan terus bercerita. Semakin ia mendengar celoteh impian bocah itu, dada Lestari semakin sesak. Benarkah perbuatannya kali ini, membohongi harapan dan impian anaknya? Lestari hanya bisa meratap dalam hati.
Di hadapan anaknya ia selalu mencoba tersenyum. Ia tak ingin anaknya tumbuh dalam suasana kesedihan. Kebahagiaan Wulan adalah hal yang paling berarti baginya.
Maaf ya nak, jeritan pilu di hatinya terdengar parau.
♣♣♣

Tidak ada komentar:

Posting Komentar