Rabu, 09 November 2011

SIAPA SAYA ?

siapa yg berperan antagonis ?
mereka, dia atau saya ?
apakah malaikat berperan juga ?
mengapa Tuhan membuat skenario ?
lawwamah, amarah, muthma’innah bercampur
skandal busuk terus berlanjut
dunia seakan awal dari pintu surga
tahta, harta, cinta menurunkan nurani
dimanakah fitrah ?
apakah sudah menghilang di gerus dosa ?

RACUN

Retorika berbalut dialektika
Logika tak sepadan dengan fakta
mengurung nasib dengan selembar cerita
Sudah aku wakaf-kan diri ini untuk mu
Masih saja bertanya, kau mencintai ku ?


Biarlah  racun ini menyebar ke seluruh sel darahku
Sampai aku gila karena-Mu
Gila menyebut nama-Mu
Gila mengharap Ridho-Mu
Jangan biarkan aku gila karena makhluk ciptaan-Mu
041111
-Djarot Wibowo-

Kamis, 15 September 2011

Saat kerakusan menjelma menjadi kenikmatan, aku takut kematian menjemput tanpa iman, maafkan kami yaa Rahman....
Terbius rasa kemunafikan
melodi senja iringi birokrasi yg akan pergi
tinggalkan tahtata berbungkus tirani....
 
Dapatkah ku berpijak, walaupun kepercayaan menikam dari belakang
dapatkah termaafkan salah, lalu panjatkan syukur dan meredamkan prasangka....
mentari pun semakin indah bersinar...
biarlah wajahmu semakin berbinar...
berharap pandangan ini haya tertuju padaMu...

Asketisisme ( Gerakan Zuhud ) II


Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Berkembangnya Aksetisisme
Menurut Abu al-A’la Affifi berpendapat bahwa ada empat faktor yang mengembangkan asketisisme dalam islam, yaitu :
  1. Ajaran-ajaran Islam itu sendiri.
  2. Revolusi rohaniah kaum Muslim terhadap sistem sosio-politik yang berlaku.
  3. Dampak asketisisme Masehi. Di zaman pra-Islam bangsa Arab terkena dampak para pendeta Masehi. Namun dampaknya lebih cenderung ke aspek organisasionalnya daripada prinsip-prinsip umumnya.
  4. Pertentangan terhadap Fiqh dan Kalam.

Tokoh Zuhud
Ali bin Abi Thalib, dalam pandangan para sufi secara khusus mempunyai kedudukan yang tinggi. Abu Ali al-Rudzbari, seorang tokoh sufi angkatan pertama, berkata : “Dia dianugerahi ilmu ladunni (ilmu dari sisi Allah). Dalam kitab Zuhud dikisahkan bahwa :
حد ثنا عبد الله حد ثني أبي حد ثنا ابوالنذ ر إسما عيل بن عمر حد ثنا شفيان عن سعيد
بن عبيد عن علي بن ربيعة أن عليا عليه السلام كان له امرأتان كان إذا كان يوم هذه اشترى
لحما بنصف درهم وإذاكان يوم هذه اشترى لحمابنصف درهم.
           
Ali memiliki dua orang perempuan suatu hari ia membeli daging dengan harga ½ dirham dan di hari berikutnya ½ dirham lagi[1]

 Usman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tetapi keduanya para aksetis dengan harta yang dia miliki. Ustman bin Affan membekali seluruh pasukan Nabi ketika itu sedang masa paceklik dan membeli sumur seorang Yahudi, yang sebelumnya orang muslim dilarang menimba sumurnya. Abdurrahman ibn Au’f tidak segan-segan memberikan hartanya ketika kaum Muslim sedang membutuhkannya. 
وََعَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ قَلَ : نَا مَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حَصِيْرٍ فَقَا
مَ وَقَدْاَثَّرَفِِى جَنْبِهِ ، قُلْنَا يَارَسُوْلَ اللّهِ لَوِاتَّخََذْ نَا لَكَ وِطَاءً؟ فَقَا لَ: مَلِى وَلِلدُّ نْيَا، مَااَنَافِى الدُّ نْيَا اِلاَّ كَرَاكِِبٍ
اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ شُمَّ رَاحَ وَتَرَاكَهَا. رواه الترمذى

Dari Abdullah bin Mas’ud ra.., ia berkata : “Rasulullah saw, tidur di atas tikar. Ketika beliau bangun, tampak bekas tikar itu di pinggangnya”. Kemudian kami mengajukan usul : “Wahai Rasulullah, bagaimana jika kami mengambilkan kasur untukmu ?” Beliau bersabda :  “Apalah artinya dunia ini untuk diriku, sedangkan aku di dunia ini bagaikan orang yang berpergian dan berteduh dibawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya [1]. (HR. Tirmidzi).

Mengejar materi dunia tidak di larang oleh kalangan sufi, bahkan menuntut dunia hukumnya wajib, dalam rangka memenuhi kebutuhan primer. Dan apabila kebutuhan primer telah tercukupi maka selebihnya sunnah, bisa juga yang sunnah tersebut berubah menjadi haram. Didalam Syarah Arbain “Apabila dalam memenuhi kebutuhan dunia bertujuan untuk membanggakan diri agar dilihat orang banyak, maka perbuatan tersebut tercela”. Tapi apabila kegembiraan tersebut bersumber dari Allah, maka yang demikian itu tidak tercela. Lebih ekstreem lagi, Imam Ghazali menjelaskan bahwa : zuhud menurut orang sufi terbagi menjadi dua macam[2], yaitu  :
  1. Zuhud yang dapat dilakukan manusia, terdiri dari tiga perkara: (tidak merasa bersedih atas yang hilang, membagi-bagikan apa yang ada padanya di jalan yang telah ditetapkan Allah, meninggalkan usaha dan rencana karena berserah diri kepada kehendak Allah.
  2. Zuhud di luar kemampuan manusia, yaitu “menghilangkan semua keinginan kepada sesuatu”.
Klasifikasi tingkatan zuhud menurut Al-Gazali ada tiga macam, yaitu :
  1. Karena takut (Khauf) kepada neraka. Zuhud seperti ini adalah zuhudnya orang takut (Khaifin).
  2. Karena mengharap (Raja) kepada kemewahan yang akan didapat pada hari akhirat. Zuhud yang seperti ini adalah zuhudnya orang yang mengharap (rajin). Ibadah yang seperti ini dianggap lebih bermutu dibandingkan dengan tingkatan Khauf, karena dalam tingkatan Raja akan menumbuhkan cinta (mahabbah) terhadap Illahi.
  3. Tidak berdasarkan apa-apa, hanya keinginan untuk mencapai ketinggian rohani yang kelak akan bertemu (liqa) dan melihat (ru’yah) Allah di akhirat. Zuhud yang seperti ini zuhudnya orang yang arif.
Ibnu Qudamah Al-Muqudasi menerangkan bahwa : keperluan manusia itu dapat di bagi menjadi tujuh macam ; makanan, pakaian, tempat tinggal, perabot rumah tangga, istri, harta kekayaan dan popularitas. Jika seseorang telah meninggalkan harta kekayaan dan pakaian mewahnya, sudah dikatakan zuhud. Bisa saja orang tersebut memiliki perasaan ingin di puji dan menyandang sebagai orang yang hidupnya zuhud. Oleh karena itu Ibu Mubarak berkata, “Seutama-utamanya zuhud adalah menyembunyikan kehidupan zuhudnya itu”, karena orang yang hidupnya zuhud sebenarnya hanya dikenal dari sifat yang ada pada dirinya.
Imam al-Qusyairi menukil perkataan dari Ahmad bin Hambal, zuhud terbagi menjadi tiga macam[3], yaitu :
  1. meninggalkan yang haram, inilah zuhudnya orang awam.
  2. meninggalkan segala yang berlebihan walaupun halal, inilah yang disebut zuhudnya orang khawasi.
meninggalkan segala yang menyibukkan dirinya sehingga menyebabkan lupa kepada Allah, disebut juga zuhudnya orang arif.
 
Sumber :
 
Al-Ghazali Hamid Abi, Raudhatul Thaaliibin, (Darul Fikri).
Al-Taftazani al-Ghanimi Abu al-Wafa’ Dr., Sufi Dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1997).
Musyaibani Hanbal Muhammad, Zuhud (Darul Kitab Ilmiah).
Sjukur Asjwadie. H.M. Lc, Ilmu Tashauf.
Syaraf an-Nawawi bin Yahya, Riyadhus Shalihin Jilid 1, (Jakarta;Pustaka Amani, 1999)


                [1] Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Riyadhus Shalihin Jilid 1, (Jakarta;Pustaka Amani, 1999) h. 468
                [2]  H.M. Asjwadie Sjukur. Lc, Ilmu Tashauf, h.64
                [3] H.M. Asjwadie Sjukur. Lc, Ilmu Tashauf, h 68.


                [1] Al-Imam Abdillah Ahmad bin Muhammad Hanbal Musyaibani, Zuhud (Darul Kitab Ilmiah).

Asketisisme ( Gerakan Zuhud ) I

Pengertian Zuhud
Orang sufi menganggap kehidupan Wara sebagai permulaan awal dalam mencapai kehidupan zuhud. Imam Al-Qusyairi menukil perkataan Sulaiman Darani yang mengatakan “wara adalah suatu sikap hidup dalam memilih yang halal semata, maka zuhud adalah suatu sikap hidup dalam mempergunakan yang halal semata.  
Menurut Ibnu Qudamah Al Muqadasi ialah “Merupakan pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik”.
Imam Al-Ghazali berpendapat “Zuhud ialah mengurangi keinginan kepada dunia, dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran dan dalam hal yang mungkin dilakukan”. Kemudian menjelaskan bahwa, “pengetahuan yang membawa manusia kepada kehidupan zuhud ialah iman”. Karena iman itulah yang menjadikan manusia memalingkan perhatian dan cintanya dari dunia ini, karena melihat kelebihan dan keistimewaan apa yang ada di sisi Allah. Iman inilah yang membersihkan hati manusia, sehingga mengetahui bahwa kehidupan akhirat lebih baik dan kekal di bandingkan kehidupan dunia. “Laksana perhiasan yang asli dan yang palsu” seperti yang dijelaskannya dalam kitab Raudhotul Thaalibiin yaitu :
اماالعلم الذي هو سبب الزهد في الدنيافهومن الايهان الله تعا لى وهوقوله تعا لى, بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا.  وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى.

“Menurut Imam Al-Ghazali ilmu yang menjadi sebab zuhud di dunia ialah iman kepada Allah Ta’ala dalil-Nya adalah firman Allah ; “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal”
Dalam Syarah Arbain diterangkan, “zuhud ialah meninggalkan kehidupan duniawi yang tidak diperlukan, sekalipun halal dan terbatas hanya memenuhi yang primer saja.

Semua definisi tersebut bersumber dari pengertian firman Allah dan hadits, sebagai berikut :  
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى. (انسا ء :٧٧)
Artinya : " Katakanlah”: Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa. (Annisa: 77).
لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ. (الحديد : ٢٣)
Artinya : (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. (Q.S Al-Hadid : 23).
Dalam sebuah hadits menerangkan : Celakalah budak dinar dan dirham, dan budak perhiasan, permadani dan pakaian. Jika diberikan ia ridha dan jika tidak diberikan ia mengomel. (H.R. Bukhari dan Abu Hurairah).
Sekilas Tentang Gerakan Zuhud (Asketisisme)   
Zuhud atau asketisisme, menurut para ahli sejarah tasauf adalah fase yang mendahului tasauf. Dalam Islam, asketisisme menpunyai pengertian khusus. Asketisisme bukan berarti terputusnya kehidupan duniawi. Melainkan hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, dimana mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan qalbu mereka, serta tidak mengingkari Tuhannya.
Oleh karena itu, dalam Islam, asketisisme tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan seorang itu kaya raya, tapi disaat yang sama dia pun asketis. Menurut kalangan sufi asketisisme ialah “Hendaklah kamu menolak apa yang kamu miliki, dan bukannya menolak apa yang tidak kamu miliki. Seandainya seorang tidak memiliki apa-apa dalam hal apa ia dipandang sebagai seorang asketis ?”. Asketisisme dalam Islam mempunyai makna, hendaklah seorang menjauhkan dirinya dari hawa-nafsunya. Dengan kata lain, hendaklah ia membebaskan dirinya dengan sepenuh hati dari segala hal yang menghalangi kebebasannya. Asketisisme menurut para Nabi serta shabat, tidak berpaling sepenuh hati dari duniawi. Tetapi sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala sesuatu.


MENGANALISIS PENGGUNAAN DISTRAKTOR

Dalam setiap tes obyektif selalu digunakan alternative jawaban yang  mengandung dua unsur sekaligus yaitu jawaban yang tepat dan jawaban yang salah sebagai penyesat / pengecoh (distraktor)
Tujuan pemakaian distraktor sebagai pengecoh bagi yang kurang mampu untuk dapat dibedakan dengan yang mampu.
No. item
(kunci)
Klp


27%
Key / Distraktor
WL

WH
TK
DP
A
B
C
D
E
O
I
(A)
L
10
7
5
10
3
-
25
57
0,28
H
20
3
6
5
1
-
15
2
(B)
L
7
19
4
0
5
-
35
95,7
0,08
H
17
7
6
3
2
-
32
3
(A)
L
9
12
9
3
2
-
14
62,8
-0,4
H
0
5
20
5
5
-
30


Tabel diatas menunjukkan pemakaian distraktor yang kurang baik, sebab distraktor yang baik adalah yang dapat dihindari oleh anak-anak yang pandai dan terpilih oleh anak-anak yang kurang pandai.



          Dari tabel analisis diatas ada beberapa yang dapat diketahui

yaitu : 
  1. Pada umumnya alternatif jawaban sudah baik. 
  2. Pada item nomor 3, secara jelas peletakan kunci jawaban menjadai salah, sebab DP-nya menunjukkan angka negatif. 
  3. Alternatif jawaban A dan C perlu dikaji kembali

Distraktor yang paling baik tidak harus terpilih oleh sedikitnya 2%. 
Ket   : TK   : tingkat yang ingin dicari
          WH  : jumlah siswa yang menjawab salah dari kelompok
                 pandai
        WL    : jumlah siswa yang menjawab salah dari kelompok
                 rendah
        DP     : besarnya daya pembeda yang ingin dicari