Minggu, 10 April 2011

YANG HILANG DAN KEMBALI (1)

Lestari merangkul pria di hadapannya.

“Jangan pergi lagi mas!” ujarnya pelan. Matanya memohon pada pria yang berdiri kokoh di dekapannya.

“Aku tak bisa.” Pria itu mencoba melepaskan eratnya dekapan wanita berketurunan Jawa-Sunda itu.

Suara-suara alam membahama. Kesunyian yang terbentuk meneteskan air mata kerinduan. Pria itu baru datang pagi ini. Lima tahun sudah pria yang pernah memberikan ketulusan cinta padanya tujuh tahun silam meninggalkannya.

“Kau tidak kangen dengan anak kita, Wulan?” ucapan Lestari makin bergetar. Matanya yang bening mulai memerah. Ia tak mampu mengatur napasnya lagi. Dadanya naik-turun tak menentu.

Seorang bocah perempuan berdiri di belakang kaki Lestari. Sesekali bocah itu melongok ke arah pria yang membuat ibunya menangis itu. Ada kebencian yang menelisik di hati bocah itu. Namun ada pula kerinduan yang teramat, terpendam di sisa-sisa isak masa lalunya.

“Aku tak mau lagi kau hanya menemuiku lewat sebuah surat berisi sejumlah nafkah saja, begitu menyakitkan.”

“Tiap kali tetangga kita bertanya, di mana kau Mas? Sudahkan kau lupa tentang aku? Awalnya mereka maklum karena kau bekerja di kota sana, di Jakarta. Satu tahun, dua tahun, lalu lima tahun kau baru pulang tanpa kabar sebelumnya. Ke mana saja kau, Mas?” lanjut Lestari. Kristal air mengalir. Pipinya basah.

Pria itu tak bergeming dari tempatnya. Gunung ego yang kokoh menanamkan akarnya pada kerak bumi. Pria itu membalikkan badannya.

“Aku tahu itu, Tari. Aku pun rindu pada anak kita, tapi aku tak bisa.”

“Kenapa tak bisa, Mas? Apa yang sudah kau lakukan di kota sana? Apa kau bertemu dengan wanita lain yang lebih menarik di sana sehingga kau tak mau kembali lagi ke sini selama lima tahun?” isak itu mulai terdengar jelas. Pria itu mulai gelisah. Akar-akar egonya mulai tercabut satu demi satu.

Pria itu menggeleng. Bayangan kebahagiaan bersama isteri dan anaknya ditampik. Bayangan kebahagiaan yang tak dibutuhkannya saat ini.

“Sekali lagi maafkan aku, Tari, aku tak bisa.” Pria itu melenggang pelan. Sebelum itu, ia melirik ke arah bocah kecil yang bersembuyi di belakang Lestari. Ia menghembus napas panjang, lalu tersenyum ke arah bocah itu.

Kau sudah tumbuh menjadi wanita yang cantik, gumam pria itu dalam hati.

Pintu tertutup. Angin siang yang menyengat terasa dingin. Lestari hanya diam menatap kesendiriannya lagi, semuanya terjadi begitu cepat. Belum setengah hari pria itu kembali. Kini ia sudah pergi.

“Siapa orang itu, Bu?” Wulan yang dari tadi bersembunyi mulai berani berkata, dengan nada terbata. Matanya mengisyaratkan rasa ingin tahu yang sangat besar. Wulan merasakan adanya kedekatan hati ketika pria itu tersenyum padanya tadi. Kedekatan yang sudah lama ia nantikan. Entah apakah itu, Wulan sendiri tak mengerti. Ia hanya merasakan sayang begitu dalam yang tak tersampaikan.

“Dia bukan siapa-siapa, Nak.” Lestari mengusap pipinya yang terasa basah.

“Kenapa Ibu menangis?” isak Lestari masih terdengar. Meskipun ia sudah berusaha menahan matanya agar tidak berair lagi.

Lestari membisu. Lidahnya kelu. Mas Seno kenapa kau pergi lagi? jeritnya keras, memantul dalam relung hatinya yang sudah lama terluka.

♣♣♣

Tidak ada komentar:

Posting Komentar