Kamis, 15 September 2011

Asketisisme ( Gerakan Zuhud ) II


Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Berkembangnya Aksetisisme
Menurut Abu al-A’la Affifi berpendapat bahwa ada empat faktor yang mengembangkan asketisisme dalam islam, yaitu :
  1. Ajaran-ajaran Islam itu sendiri.
  2. Revolusi rohaniah kaum Muslim terhadap sistem sosio-politik yang berlaku.
  3. Dampak asketisisme Masehi. Di zaman pra-Islam bangsa Arab terkena dampak para pendeta Masehi. Namun dampaknya lebih cenderung ke aspek organisasionalnya daripada prinsip-prinsip umumnya.
  4. Pertentangan terhadap Fiqh dan Kalam.

Tokoh Zuhud
Ali bin Abi Thalib, dalam pandangan para sufi secara khusus mempunyai kedudukan yang tinggi. Abu Ali al-Rudzbari, seorang tokoh sufi angkatan pertama, berkata : “Dia dianugerahi ilmu ladunni (ilmu dari sisi Allah). Dalam kitab Zuhud dikisahkan bahwa :
حد ثنا عبد الله حد ثني أبي حد ثنا ابوالنذ ر إسما عيل بن عمر حد ثنا شفيان عن سعيد
بن عبيد عن علي بن ربيعة أن عليا عليه السلام كان له امرأتان كان إذا كان يوم هذه اشترى
لحما بنصف درهم وإذاكان يوم هذه اشترى لحمابنصف درهم.
           
Ali memiliki dua orang perempuan suatu hari ia membeli daging dengan harga ½ dirham dan di hari berikutnya ½ dirham lagi[1]

 Usman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tetapi keduanya para aksetis dengan harta yang dia miliki. Ustman bin Affan membekali seluruh pasukan Nabi ketika itu sedang masa paceklik dan membeli sumur seorang Yahudi, yang sebelumnya orang muslim dilarang menimba sumurnya. Abdurrahman ibn Au’f tidak segan-segan memberikan hartanya ketika kaum Muslim sedang membutuhkannya. 
وََعَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ قَلَ : نَا مَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حَصِيْرٍ فَقَا
مَ وَقَدْاَثَّرَفِِى جَنْبِهِ ، قُلْنَا يَارَسُوْلَ اللّهِ لَوِاتَّخََذْ نَا لَكَ وِطَاءً؟ فَقَا لَ: مَلِى وَلِلدُّ نْيَا، مَااَنَافِى الدُّ نْيَا اِلاَّ كَرَاكِِبٍ
اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ شُمَّ رَاحَ وَتَرَاكَهَا. رواه الترمذى

Dari Abdullah bin Mas’ud ra.., ia berkata : “Rasulullah saw, tidur di atas tikar. Ketika beliau bangun, tampak bekas tikar itu di pinggangnya”. Kemudian kami mengajukan usul : “Wahai Rasulullah, bagaimana jika kami mengambilkan kasur untukmu ?” Beliau bersabda :  “Apalah artinya dunia ini untuk diriku, sedangkan aku di dunia ini bagaikan orang yang berpergian dan berteduh dibawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya [1]. (HR. Tirmidzi).

Mengejar materi dunia tidak di larang oleh kalangan sufi, bahkan menuntut dunia hukumnya wajib, dalam rangka memenuhi kebutuhan primer. Dan apabila kebutuhan primer telah tercukupi maka selebihnya sunnah, bisa juga yang sunnah tersebut berubah menjadi haram. Didalam Syarah Arbain “Apabila dalam memenuhi kebutuhan dunia bertujuan untuk membanggakan diri agar dilihat orang banyak, maka perbuatan tersebut tercela”. Tapi apabila kegembiraan tersebut bersumber dari Allah, maka yang demikian itu tidak tercela. Lebih ekstreem lagi, Imam Ghazali menjelaskan bahwa : zuhud menurut orang sufi terbagi menjadi dua macam[2], yaitu  :
  1. Zuhud yang dapat dilakukan manusia, terdiri dari tiga perkara: (tidak merasa bersedih atas yang hilang, membagi-bagikan apa yang ada padanya di jalan yang telah ditetapkan Allah, meninggalkan usaha dan rencana karena berserah diri kepada kehendak Allah.
  2. Zuhud di luar kemampuan manusia, yaitu “menghilangkan semua keinginan kepada sesuatu”.
Klasifikasi tingkatan zuhud menurut Al-Gazali ada tiga macam, yaitu :
  1. Karena takut (Khauf) kepada neraka. Zuhud seperti ini adalah zuhudnya orang takut (Khaifin).
  2. Karena mengharap (Raja) kepada kemewahan yang akan didapat pada hari akhirat. Zuhud yang seperti ini adalah zuhudnya orang yang mengharap (rajin). Ibadah yang seperti ini dianggap lebih bermutu dibandingkan dengan tingkatan Khauf, karena dalam tingkatan Raja akan menumbuhkan cinta (mahabbah) terhadap Illahi.
  3. Tidak berdasarkan apa-apa, hanya keinginan untuk mencapai ketinggian rohani yang kelak akan bertemu (liqa) dan melihat (ru’yah) Allah di akhirat. Zuhud yang seperti ini zuhudnya orang yang arif.
Ibnu Qudamah Al-Muqudasi menerangkan bahwa : keperluan manusia itu dapat di bagi menjadi tujuh macam ; makanan, pakaian, tempat tinggal, perabot rumah tangga, istri, harta kekayaan dan popularitas. Jika seseorang telah meninggalkan harta kekayaan dan pakaian mewahnya, sudah dikatakan zuhud. Bisa saja orang tersebut memiliki perasaan ingin di puji dan menyandang sebagai orang yang hidupnya zuhud. Oleh karena itu Ibu Mubarak berkata, “Seutama-utamanya zuhud adalah menyembunyikan kehidupan zuhudnya itu”, karena orang yang hidupnya zuhud sebenarnya hanya dikenal dari sifat yang ada pada dirinya.
Imam al-Qusyairi menukil perkataan dari Ahmad bin Hambal, zuhud terbagi menjadi tiga macam[3], yaitu :
  1. meninggalkan yang haram, inilah zuhudnya orang awam.
  2. meninggalkan segala yang berlebihan walaupun halal, inilah yang disebut zuhudnya orang khawasi.
meninggalkan segala yang menyibukkan dirinya sehingga menyebabkan lupa kepada Allah, disebut juga zuhudnya orang arif.
 
Sumber :
 
Al-Ghazali Hamid Abi, Raudhatul Thaaliibin, (Darul Fikri).
Al-Taftazani al-Ghanimi Abu al-Wafa’ Dr., Sufi Dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1997).
Musyaibani Hanbal Muhammad, Zuhud (Darul Kitab Ilmiah).
Sjukur Asjwadie. H.M. Lc, Ilmu Tashauf.
Syaraf an-Nawawi bin Yahya, Riyadhus Shalihin Jilid 1, (Jakarta;Pustaka Amani, 1999)


                [1] Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Riyadhus Shalihin Jilid 1, (Jakarta;Pustaka Amani, 1999) h. 468
                [2]  H.M. Asjwadie Sjukur. Lc, Ilmu Tashauf, h.64
                [3] H.M. Asjwadie Sjukur. Lc, Ilmu Tashauf, h 68.


                [1] Al-Imam Abdillah Ahmad bin Muhammad Hanbal Musyaibani, Zuhud (Darul Kitab Ilmiah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar